Selasa, 12 Oktober 2010

Anggota Kelompok : Felicia Amanda (09120110007)
                                    Fima Mardiana (09120110009)
                                    Gabrella Sabrina (09120110010)
                                    Cheryl Vera Victoria (09120110014)

Saur Marolop Hutabarat

 Saur Hutabarat yang lahir di Jambi pada 3 Januari 1953 memiliki nama lengkap Saur Marolop Hutabarat. Pria keturunan Batak ini menghabiskan masa kecil dan remajanya di Jambi, karena sang ayah merantau disana. Pak Saur adalah anak pertama dari lima bersaudara.
Saur Hutabarat mengawali pendidikannya di Jambi dan memutuskan untuk menempuh pendidikan di jenjang yang lebih lanjut di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. Pada awalnya beliau mengambil jurusan MIPA di UGM, namun Drop Out karena penurunan nilai. Beliau tertawa saat mengenang ketika sang dosen kalkulus menerangkan, beliau malah sibuk mempelajari sastra dan filsafat. Hal itu dikarenakan minat menulisnya lebih kuat daripada harus berkutat dengan angka-angka. Hingga pada akhirnya beliau memutuskan untuk pindah jurusan ke Fakultas Sosial dan Politik, Jurusan Publisistik atau yang dikenal sekarang ini adalah Ilmu Komunikasi. Dengan melewati masa lalu yang pahit dengan kegagalan akademiknya, justru membuat semangat beliau semakin terpacu untuk mengejar cita-cita dan mengikuti kata hatinya untuk menjadi sukses di bidang jurnalisme.
Pada saat menjadi mahasiswa di UGM, Saur Hutabarat aktif dalam di surat kabar mahasiswa UGM yang bernama Gelora Mahasiswa. Awalnya beliau menjadi reporter, lalu menjadi redaktur, dan pada akhirnya menjadi pemimpin umum surat kabar Gelora Mahasiswa pada saat semester 7. Surat kabar Gelora Mahasiswa dibredel oleh rektor saat itu. Pembredelan terjadi pada masa pimpinan beliau, karena beliau mengirim apa yang disebut sebagai mata-mata pada Rapat Rektor bersama BEM, dan apa yang menjadi omongan rektor dikritik dan dijadikan Headline dalam Gelora Mahasiswa. Kemudian Rektor menghentikan pemberian biaya pada Gelora Mahasiswa. Akan tetapi, semangat para Pak Saur dengan rekan-rekannya untuk tetap terus menerbitkan Gelora Mahasiwa tak surut begitu saja. Pak Saur dan rekan-rekannya malah menerbitkan Gelora Mahasiswa menjadi 2 kali dalam satu bulan, yang biasanya 1 kali dalam satu bulan. “Biasa, anak muda. Pasti kalian juga akan melakukan hal yang sama,” Ucap Pak Saur sambil tersenyum.
Saur Hutabarat lulus dari UGM pada tahun 1979. Sebelum lulus gelar S1, beliau memutuskan untuk menikah dengan Yuniar Silitonga pada umur 26 tahun. Beliau mengakui bahwa sesuatu hal nekat karena menikah di usia muda dan masih pengangguran. Kemudian beliau dan sang istri dianugrahi 1 orang putri (1982) yang berprofesi sebagai seorang dokter gigi dan 1 orang putra (1966) yang baru saja lulus Sarjana Hukum di UGM. Putrinya telah menikah dan memiliki 1 orang putri yang berumur 5 bulan. Tak ada satupun yang terjun ke="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
Selesai dalam dunia perkuliahan, karir profesional Saur Hutabarat pun dimulai. Tahun 19 dalam dunia jurnalistik seperti Pak Saur sendiri, namun beliau tetap mendukung apapun yang dilakukan anak-anaknya dan tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk menjadi seperti dirinya.
Sarjana Muda untuk menjadi reporter. Ketika mengikuti test masuk, Saur Hutabarat cukup percaya diri karena yang dicari Tempo adalah Sarjana Muda, sedangkan ia sendiri sudah menjadi Sarjana yang berarti tingkat pendidikan yang pernah diikuti lebih tinggi. Maret 1980, beliau lulus test dan diterima sebagai reporter lapangan selama 3 tahun pada di Yogyakarta.
Beliau memilih untuk menjadi seorang wartawan karena hobinya yang memang suka menulis juga panggilan hati. Beliau berpandangan bahwa menjadi seorang wartwan itu sangat hebat sekali karena berani mengatakan apa adanya dalam menyampaikan suatu berita. Selain itu, menjadi sorang wartawan dapat membawa suatu kepentingan publik.
Setelah menjadi reporter lapangan selama 3 tahun, beliau diangkat menjadi Koordinator Biro yang membawahi atau memimpin seluruh wartawan di Yogya dan Jawa Tengah. Hingga pada tahun 1986, beliau dipindahkan tugas ke Jakarta sebagai Redaktur Nasional yang mengurusi masalah politik. Pada tahun 1987 beliau diangkat menjadi Koordinator Biro Jakarta.
Pak Saur mengakui bahwa menjadi Koordinator Biro di Yogya dan Jawa Tengah lebih sulit daripada menjadi  Koordinator Biro Jakarta. Hal itu dikarenakan jumlah orang di Jakarta lebih banyak, kemungkinan kecolongan berita lebih kecil daripada di Yogya dan Jawa Tengah yang lingkup wilayahnya lebih luas. ”Saya tinggal di Jogja, jika ada narapidana lari dari Nusakambangan dan saya sebagai Kepala Biro tidak tahu, bisa dicopot saya.” kata beliau. Beliau juga mengatakan berbeda dimensi, mana yang lebih berat.
Pada tahun 1987, alasan terpenting beliau keluar dari Tempo karena merasa tidak puas dengan manajemen. Beliau dan sekitar 30 rekannya di Tempo melakukan pemberontakan dan keluar bersama-sama.
Beliau dan rekan-rekannya membuat suatu majalah yang bernama Editor tahun 1987. Majalah Editor, bersama majalah Detik dan Temo, dibredel pada zaman pimpinan Pak Harto karena telah mengkritik terlalu tajam kepemerintahan Pak Harto. Akan tetapi Pak Saur telah keluar dari majalah Editor sebelum majalah tersebut di bredel oleh pemerintah pada tahun 1994.
Pada zaman tersebut, sudah tidak ada lagi majalah atau koran baru. Semua majalah dan surat kabar benar-benar telah diawasi oleh pemerintah. Oleh karena itu, Saur Hutabarat memutuskan untuk menjadi konsultan PR independen yang menggarap tentang Media Relation. Pekerjaan tersebut berakhir pada tahun 1998, lebih tepatnya pada saat krisis moneter terjadi. Semua perusahaan hancur, maka PR pun secara tak langsung juga ikut hancur.
Pada saat itu beliau juga membantu menjadi instruktur jurnalistik di LP3Y (Lembaga Penelitian Pendidikan & Penertiban Yogya), Yogya, yang di pimpin oleh Ashadi Siregar. Bisa di bilang beliau kerja lepas dengan LP3Y. Beliau juga menjadi penulis lepas di Kompas. Ada dua tulisan beliau yang di muat di Kompas sekitar tahun 1998, yaitu Bila Saya Bermimpi Menjadi Presiden dan Ukuran Sepatu Akbar Tanjung.
”Karena waktu itu, Akbar Tanjung Ketua Golkar, jadi dia ingin menolak betul Megawati. Jadi saya kritik betul dia untuk tidak menggunakan ukuran sepatunya kepada Megawati dan Gusdur.” Terang beliau.
Tulisan tersebut sangat diapresiasikan oleh Bapak Surya Paloh. Pak Saur kemudian ditawari untuk bergabung dengan Media Group. Akhirnya pak beliau memutuskan untuk bergabung dengan Media Group pada Januari 1999 menjabat sebagai Kepala Litbang. Saat Metro TV lahir pada November 2000, beliau merangkap menjadi Wakil Pemimpin Redaksi bersama dengan Bapak Andy Noya yang menjadi Pemimpin Redaksinya.
1 Juni 2001 - 18 Maret 2003, beliau menjadi Pemimpin Redaksi Media Indonesia menggantikan Bapak Djaffar Asegaf. 19 Maret 2003 - 30 Juni 2004, menjadi Pemimpin Redaksi Metro TV. 1 Juli 2004 - 30 April 2005, menjadi Wakil Pemimpin Umum Media Indonesia, 1 Mei 2005 – 31 Oktober 2006, menjadi Pemimpin Umum Media Indonesia, dan 1 November – sekarang, Pak Saur menjabat sebagai Pemimpin Redaksi yang kini istilah itu telah diganti menjadi Direktur Pemberitaan Media Indonesia. Menurut Pak Saur, pemindahan jabatan yang berulang kali tersebut karena sesuai keinginan “Si Bos”, yaitu Bapak Surya Paloh.
Saur Hutabarat merupakan sosok seseorang yang sangat menghormati atasannya dan akan melaksanakan perintah atasannya dengan baik jika itu masih berada dalam lingkup idealismenya sebagai wartawan dan seorang individu yang mengutamakan kebenaran dan mengikuti kata hati. Hal itu tercermin dari setiap pengucapan kata “si bos” sambil tersenyum. Yang dimaksud “si bos” tentunya adalah Surya Paloh, pemilik Media Group tempat beliau bekerja.
Beliau benar-benar mendedikasikan dirinya untuk hidup di dunia jurnalistik karena beliau merasakan kepuasan batin yang amat sangat ketika menjadi seorang reporter atau wartawan. Dengan menjadi wartawan, beliau bisa melihat sisi lain dari dunia ini, dan bisa menampilkan angle yang berbeda dari suatu peristiwa namun tetap membuat peristiwa itu tetap menarik untuk dikonsumsi para pembaca.
Dedikasi beliau cukup terbukti dengan kontribusi yang diberikannya pada dunia jurnalistik. Saur Hutabarat adalah seorang yang memperjuangkan idealisme dalam dunia pers. “Pers yang ingin terus hidup menghadapi tantangan zaman perlu mengindustrikan idealisme, yakni menjalankan bisnis pers yang sarat dengan kreativitas dan misi maupun visinya demi kepentingan publik,” demikian yang dikatakan beliau dalam situs resmi PWI (Persatuan Wartawan Indonesia).
Pak Saur juga beranggapan bahwa ditengah dunia bisnis yang berkembang pesat, idealisme pers harus tetap di depan, tapi sekaligus bisa menjadi potensi bisnis.
Membicarakan soal bisnis, beliau yang ditanyakan soal tantangan bisnis dalam dunia pers yakni persaingan dengan surat kabar lainnya mengatakan bahwa “Kita tidak takut akan adanya persaingan, meskipun persaingan itu selalu tercipta, namun kami memiliki ideologi sendiri dalam berkarya, tentu saja semua surat kabar memiliki ideologinya masing-masing. Juga kami memiliki sesuatu, yaitu sebuah persepsi yang berbeda dengan surat kabar lainnya, yang akan ditampilkan menjadi headline.”
Ketika menerangkan mengenai perbedaan-perbedaan persepsi, beliau sangat semangat dan menunjukan semua merk surat kabar terkenal di Indonesia yang terletak di atas meja kerjanya. Menurut beliau, karena setiap surat kabar memiliki persepsi tersendiri akan sebuah peristiwa, maka headline yang ditampilkan pun ada yang berbeda namun ada juga yang mirip. “Kita hanya tinggal memilih yang mana dan berusaha menerapkan ‘how to win public meaning’ yang artinya kita yang berkutat dalam industri pers yang emakin lama persaingannya semakin ketat, namun juga harus memenangkan makna publik.”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar